Thursday, August 7, 2008

Pengemis Tua

Umurku lebih dari setengah abad,
Berbalut kulit kering, hitam terbakar matahari,
Bertulang besar, namun tak berdaging subur,
Berselimut baju kucel, berhiaskan noda tak terhapuskan,
Bersandal jepit, pelindung dari panasnya bumi.

Bila kewajiban sholat Shubuh telah usai kujalani,
Kaki melangkah menyusuri jalanan sepi,
Ditemani gelapnya jalan di sekitar gubukku,
Meloncati batu yang berserakan, menghindari kubangan air yang menghadang,
Menuju jalanan setapak kampung yang diterangi cahaya lampu secukupnya,
Sampai di perempatan jalanan besar sebagai labuhan terakhir,
Tempat harapan kepada semua yang lewat menysihkan uang recehnya.

Matahari sudah menunjukkan keperkasaannya,
Memberikan panas yang dibutuhkan oleh sebagian orang saat itu,
Sejenak aku merapat di keteduhan yang ada,
Sekedar melepas rasa lelah yang mendera,
Menunggu berkurangnya keringat yang mengucur.

Kembali kupandang sekeliling tempat kerjaku ini,
Teman-teman sejawat sudah mulai berdatangan,
Mereka jauh lebih muda dariku,
Membawa serta keluarganya, anak masih kecil yang kutahu bukan anaknya
Sebagai penguat rasa penderitaan mereka,
Mengharapkan belas kasihan lebih dari yang lewat.

Aku termenung,
Terkenang kembali aku di kala umur masih muda,
Badan kekar, tegap dengan semangat hidup yang meluap,
Bekerja membanting tulang untuk hidupi anak istriku,
Seharin bekerja dengan keras dan malam hari berkumpul dengan keluarga,
Aku sangat mensyukuri nikmat yang ada, walaupun hanya cukup untuk sehari.

Aku pantang menerima pemberian orang lain, tanpa usaha dariku,
Aku enggan menjadi seorang peminta, karena aku masih bisa mencari,
Aku malu jadi pengemis, karena aku masih bisa berkarya.

Namun, sekarang,
Begitu mudahnya laki-laki seusiaku dulu,
Yang menghabiskan waktunya di jalanan,
Meminta dan mengharap uang sisa dari orang lain.

Begitu gampangnya dia memutus usaha kerasnya,
Enggan mencari sampai batas kemampuan yang ada,
Untuk mendapatkan upah karena olah tangan dan badannya,
Bukan menengadah tangan sepanjang hari mengharap juluran receh.

Apa yang salah dengan mereka,
Kenapa semangatku dulu tidak terpancar di kehidupan mereka.

Aku termenung mencari sebab yang mengambang,
Aku terpekur melihat jalan hidup yang dijalani sekarang,
Dan aku tersentak,
Setitik terang lewat di depan wajahku.

Aku tidak bisa menyamakan mereka dengan aku dulu,
Aku tidak bisa serta merta menyalahkan mereka dengan tiadanya asa yang meluap,
Aku tidak mau membuat mereka sebagai pecundang,
Karena aku adalah aku, mereka adalah mereka.

Aku tidak tahu alasan mereka terjun dalam dunia jalanan ini,
Bisa karena mereka tidak ounya kemampuan yang cukup untuk bekerja,
Atau karena sudah begitu sempitnya pekerjaan yang ada,
Atau karena sudah begitu banyaknya orang yang hidup di negara ini,
Atau karena bangsa ini yang sudah begitu miskinnya, untuk sediakan lapangan kerja.

Atau karena seperti yang aku jalani,
Berusaha membantu kepada tuan-tuan yang lewat untuk bersedekah,
Menolong menyisihkan sebagian kecil kekayaannya untuk kaum papa,
Namun, apakah tuan-tuan dan nyonya-nyonya itu tulus dan ikhlas dalam pemberiannya?
Hanya Tuhanlah yang tahu akan ketulusan seseorang.

Hari semakin siang ketika aku tersadar dari lamunanku,
Jalanan macet, keruwetan terjadi walaupun dua orang polisi berusaha mengaturnya,
Teman-temanku sudah menyebar, menyisir mobil yang ada.

Akupun segera beranjak mendekati,
Mencoba mengetuk hati yang ada di dalam mobil,
Untuk koin receh pengganjal perutku di hari ini.

No comments: