Tuesday, October 7, 2008

Pencarian

Gaung takbir kemenangan masih terngiang,
Di kedua relung telinga ini,
Dan gema takbir itu masih menggelora,
Merasuk dalam hati sanubari,
Mengiringi suasana hati yang bersyukur,
Telah menjalankan yang wajib selama sebulan,
Insya Allah ridho Allah dapat menyertai orang yang bertaqwa dalam setiap langkah kehidupan, yang selalu mengagungkan asma-Nya setiap saat.

Di tengah luapan kegembiraan itu,
Manusia tak bernama itu masih belum menemukan dirinya,
Masih mencari jati dirinya,
Di antara reruntuhan bangunan jiwa yang pernah kokoh berdiri,
Yang telah dibangun dengan kekuatan hati yang suci,
Yang telah dipoles dengan kejernihan pikiran,
Yang akhirnya perlahan digerogoti oleh derasnya terpaan angin kehidupan,
Yang kini telah hancurkan topangan suci,
Hanya tinggalkan kepingan jiwa,
Lebur dalam debu kenangan.

Manusia itu masih terseok dalam pencariannya,
Mengkais-kais dalam panasnya bara serpihan,
Mencongkel-congkel di antara puing-puing ketentraman yang selalu diharapkan,
Dengan selalu menggunakan tongkat keyakinan,
Bahwa serpihan itu akan bisa menjadi puing,
Dari puing akan dibentuk bongkahan,
Kemudian bongkahan disatukan kembali menjadi bangunan,
Bangunan yang lebih kokoh pondasi keyakinannya,
Menjaga dari deburan ombak prahara yang mungkin datang.

Manusia tak bernama itu masih terus mencari,
Mencoba temukan serpihan yag paling kecil,
Yang paling kuat,
Yang paling keras,
Di tengah deru nafasnya yang menderu,
Karena usia terus mengejarnya.

Dan manusia itu masih terus mencari,
Mencari sampai nanti

Thursday, September 18, 2008

Pasuruan 15 September 2008

Angin itu kembali menerpa wajahku,
Mengusir butiran air mata yang bergulir pelan,
Mengeringkan kornea mata yang memerah,
Kilasan dari tangisan yang terkuak dari dalam,
Melihat kumpulan tubuh yang tak berdosa saling menumpuk.

Sejenak hati ini menghayati keadaan yang baru lewat,
Menyaksikan sumringahnya wajah-wajah tubuh tak bernyawa itu,
Tak menghiraukan jalan jauh yang ditempuh,
Tak perhatikan hawa panas di sekeliling,
Tak peduli harus berdiri berdempetan,
Demi sesuatu yang sangat dibutuhkan.

Begitukkah jalan kehidupan yang harus dilalui,
Sesuatu yang sangat langka ada dalam genggaman,
Sesuatu yang menjauh setiap didekati dengan usaha keras,
Sesuatu yang sulit untuk dijangkau,
Namun juga sesuatu yang sangat mudah didapat bagi sebagian,
Bahkan sesuatu yang bisa tidak berarti bagi yang lain.

Memang sesuatu itu jadi harapan semua orang yang berkumpul di sini,
Menanti penuh harap, segera mendapat jatah untuk mengambilnya,
Menunggu penuh cemas karena rombongan di belakang yang mulai tidak sabar.

Wajahku kembali tersapu oleh angin yang lewat,
Menyadarkanku akan betapa tipis dan singkatnya waktu yang aku lalui,
Dari sebelumnya gerombolan orang berjubel,
Sampai akhirnya hanya jasad yang tertinggal.

Akupun berdoa untuk mereka semua,

Saturday, August 23, 2008

Rembulan Redup

Malam ini,
Sinar rembulan begitu enggan menampakkan kemilaunya,
Redup dan terkadang sengaja sembunyi di balik awan,
Seakan semangat menyapa manusia telah punah,
Mengiringi pudarnya harapan dari seseorang,
Yang sedang merunduk dalam kebisuan,
Di halaman rumahnya yang lapang.

Riuhnya orang di sekitaran rumah,
Ramainya motor yang lalu lalang di jalanan,
Sepertinya terabaikan oleh seseorang itu.
Dengan posisi memeluk kedua lutut,
Dalam pandangan mata yang kabur,
Diapun tetap tidak bergeming dengan dinginnya malam.

Rembulan masih tetap redup,
Mengawal kegundahan hati orang itu.

Kegundahan yang dimulakan dari tuntutan yang ada,
Yang menngisyaratkan waktu selalu berjalan,
Yang menandakan masa itu ada batasnya,
Hanya dalam hitungan bulan,
Kejayaan dalam hidupnya tinggal kenangan,
Kenikmatan yang diraihnya akan lenyap,
Entah berbekas ataupun tidak,
Bagi semua orang yang pernah mengenal dan menyebut namanya.

Rembulan pun masih sembunyi di balik awan,
Seperti keberadaan orang itu yang selalu sembunyi dalam kuasa,
Memagari diri sendiri dari yang papa,
Menekan kumpulan yang membutuhkannya,
Karena pamrih yang ada di belakangnya.

Namun,
sebentar lagi dia menyadari awan kuasa itu akan sirna,
Kembali akan menunjukkan jati dirinya yang asli,
Sebagai manusia biasa, seperti sediakala.

Sinar rembulanpun semakin pudar,
Sementara orang itupun tetap merunduk dalam kebisuan yang dalam.

Kemerdekaan

Apakah arti kemerdekaan bagiku ini?

Aku masih meniti kehidupan dengan tantangan yang ada,
Menapakkan kaki untuk melangkah ke depan,
Dengan beban di pundak yang terasa,
Yang makin lama tidak berkurang,
Menambah terseoknya langkah kaki terayun,
Menuju waktu yang selalu menunggu di depan,
Untuk diselami dan diterjang.

Aku masih harus menyelesaikan rangkuhan itu,
Mengurai satu persatu,
Dari pintalannya yang tidak teratur,
Yang menandakan garapan dari tangan yang tak trampil,
Memilih dan menandai,
Mengabaikan dan menghiraukan,
Hingga ujung bertemu dengan ujung,
Yang menelan waktu begitu dalam.

Akupun masih memendam harapan ke depan,
Memindai apa yang menahan rajutan yang kumal,
Menata jalan yang ada lebih lapang,
Dengan iringan waktu yang selalu menekan,
Untuk segera lepas dari jeratan yang mencengkeram.

Akankah kemerdekaan ini menolongku untuk bebas dari kumpulan itu?

Monday, August 11, 2008

Ujung Batas

Akankah seekor burung yang terbang tinggi,
Tahu sampai setinggi manakah daya jangkau kepakan sayapnya?
Bilakah seekor lumba-lumba yang indah merenangi lautan luas,
Sadar sampai kedalaman berapa dia mampu menyelam ke dalam samudera?
Masihkah nafas seorang pendaki gunung yang tegar,
Kuat sampai setipis apa atmosfir yang dapat diselaminya?
Atau mungkinkah jalan yang panjang dan lurus itu,
Tetap lurus mengelilingi bumi sampai bertemu awalnya lagi,
Tidak pernah membelok satu milipun?

Adakah ujung batas dari setiap apa yang nampak di dunia ini,
Masihkah ujung batas dari apa yang dapat kita lihat di bumi ini,
Mampukah kita menetapkan ujung batas yang sebenarnya?
Ataukah ujung batas ini memang hanya fatamorgana saja,
Seperti terlihat namun tidak dapat dialami.

Ataukah memang ujung batas itu adalah seujung-ujungnya nafas kehidupan ini,
Akankah kita dapat menandai keberadaan kita bila di ujung batas?
Mungkinkah kemarin adalah ujung batas itu sebenarnya?

Pertanyaan-pertanyaan itupun tidak akan ada ujung batasnya.

Saturday, August 9, 2008

Waktu

Waktu ini rasanya berjalan melambat,
Semua yang bisa dilakukan telah menuai hasil,
Apa yang diharapkan sudah memberi bukti,
Namun waktu inipun belum beranjak pergi,
Bergelayut disekujur tubuh,
Mengikuti setiap loncatan kaki yang panjang.
Mengiringi tarikan tangan melambai,
Membebani dalam meniti langkah ke depan.

Waktu ini sepertinya masih mengelilingiku,
Memagariku dalam bayangan maya,
Mengitariku laksana lingkaran tak terpatahkan,
Mengunciku dan meminta perhatian yang lekat.

Waktu inipun belum akan pergi,
Tetap bersamaku di belakang dan di depanku.