Saturday, August 23, 2008

Rembulan Redup

Malam ini,
Sinar rembulan begitu enggan menampakkan kemilaunya,
Redup dan terkadang sengaja sembunyi di balik awan,
Seakan semangat menyapa manusia telah punah,
Mengiringi pudarnya harapan dari seseorang,
Yang sedang merunduk dalam kebisuan,
Di halaman rumahnya yang lapang.

Riuhnya orang di sekitaran rumah,
Ramainya motor yang lalu lalang di jalanan,
Sepertinya terabaikan oleh seseorang itu.
Dengan posisi memeluk kedua lutut,
Dalam pandangan mata yang kabur,
Diapun tetap tidak bergeming dengan dinginnya malam.

Rembulan masih tetap redup,
Mengawal kegundahan hati orang itu.

Kegundahan yang dimulakan dari tuntutan yang ada,
Yang menngisyaratkan waktu selalu berjalan,
Yang menandakan masa itu ada batasnya,
Hanya dalam hitungan bulan,
Kejayaan dalam hidupnya tinggal kenangan,
Kenikmatan yang diraihnya akan lenyap,
Entah berbekas ataupun tidak,
Bagi semua orang yang pernah mengenal dan menyebut namanya.

Rembulan pun masih sembunyi di balik awan,
Seperti keberadaan orang itu yang selalu sembunyi dalam kuasa,
Memagari diri sendiri dari yang papa,
Menekan kumpulan yang membutuhkannya,
Karena pamrih yang ada di belakangnya.

Namun,
sebentar lagi dia menyadari awan kuasa itu akan sirna,
Kembali akan menunjukkan jati dirinya yang asli,
Sebagai manusia biasa, seperti sediakala.

Sinar rembulanpun semakin pudar,
Sementara orang itupun tetap merunduk dalam kebisuan yang dalam.

Kemerdekaan

Apakah arti kemerdekaan bagiku ini?

Aku masih meniti kehidupan dengan tantangan yang ada,
Menapakkan kaki untuk melangkah ke depan,
Dengan beban di pundak yang terasa,
Yang makin lama tidak berkurang,
Menambah terseoknya langkah kaki terayun,
Menuju waktu yang selalu menunggu di depan,
Untuk diselami dan diterjang.

Aku masih harus menyelesaikan rangkuhan itu,
Mengurai satu persatu,
Dari pintalannya yang tidak teratur,
Yang menandakan garapan dari tangan yang tak trampil,
Memilih dan menandai,
Mengabaikan dan menghiraukan,
Hingga ujung bertemu dengan ujung,
Yang menelan waktu begitu dalam.

Akupun masih memendam harapan ke depan,
Memindai apa yang menahan rajutan yang kumal,
Menata jalan yang ada lebih lapang,
Dengan iringan waktu yang selalu menekan,
Untuk segera lepas dari jeratan yang mencengkeram.

Akankah kemerdekaan ini menolongku untuk bebas dari kumpulan itu?

Monday, August 11, 2008

Ujung Batas

Akankah seekor burung yang terbang tinggi,
Tahu sampai setinggi manakah daya jangkau kepakan sayapnya?
Bilakah seekor lumba-lumba yang indah merenangi lautan luas,
Sadar sampai kedalaman berapa dia mampu menyelam ke dalam samudera?
Masihkah nafas seorang pendaki gunung yang tegar,
Kuat sampai setipis apa atmosfir yang dapat diselaminya?
Atau mungkinkah jalan yang panjang dan lurus itu,
Tetap lurus mengelilingi bumi sampai bertemu awalnya lagi,
Tidak pernah membelok satu milipun?

Adakah ujung batas dari setiap apa yang nampak di dunia ini,
Masihkah ujung batas dari apa yang dapat kita lihat di bumi ini,
Mampukah kita menetapkan ujung batas yang sebenarnya?
Ataukah ujung batas ini memang hanya fatamorgana saja,
Seperti terlihat namun tidak dapat dialami.

Ataukah memang ujung batas itu adalah seujung-ujungnya nafas kehidupan ini,
Akankah kita dapat menandai keberadaan kita bila di ujung batas?
Mungkinkah kemarin adalah ujung batas itu sebenarnya?

Pertanyaan-pertanyaan itupun tidak akan ada ujung batasnya.

Saturday, August 9, 2008

Waktu

Waktu ini rasanya berjalan melambat,
Semua yang bisa dilakukan telah menuai hasil,
Apa yang diharapkan sudah memberi bukti,
Namun waktu inipun belum beranjak pergi,
Bergelayut disekujur tubuh,
Mengikuti setiap loncatan kaki yang panjang.
Mengiringi tarikan tangan melambai,
Membebani dalam meniti langkah ke depan.

Waktu ini sepertinya masih mengelilingiku,
Memagariku dalam bayangan maya,
Mengitariku laksana lingkaran tak terpatahkan,
Mengunciku dan meminta perhatian yang lekat.

Waktu inipun belum akan pergi,
Tetap bersamaku di belakang dan di depanku.

Friday, August 8, 2008

Ahmad dan Kabul

Si Ahmad dan si Kabul adalah sepasang sahabat,
Sahabat dalam suka dan duka,
Ketika masih satu SMP di desa kaki pegunungan Merapi.

Suatu sore hari,
Si Ahmad sedang berjalan kaki menikmati keindahan desanya,
Berkaos putih dan bercelana jins,
Sambil bersiul mendendangkan lagunya Mulan Jameela terbaru,
Mengiringi keriangan dalam hatinya karena matahari sore yang bersahabat,
Mengantarkan kegembiraan bathinnya karena sebentar lagi akan bertemu sahabatnya,
Ya lebaran sebentar lagi menyapa,
Seperti tahun-tahun sebelumnya,
Si Kabul akan datang dari kota,
Bersama-sama kembali menyelusuri kenangan masa kecil,
Bercakap semua hal yang membuat ketawa lepas,
Berkejaran seperti ingin mengukur luasnya desa mereka.

Si Ahmad tersenyum sendiri membayangkannya,
Bagaimana Kabul akan bercerita tentang kehidupannya di kota,
Tentang keindahan lampu dan bangunan yang selalu ditemuinya,
Tentang suasana kantornya yang sibuknya melebihi hari pasaran di desa,
Tentang bossnya yang begitu baik memberikan perhatian kepadanya,
Tentang teman kerjanya yang ganteng dan cantik,
Dan tentu tentang uang yang didapatnya selama sebulan.

Ahmad begitu bangganya akan sahabatnya itu,
Mengerti betapa sahabatnya telah menggapai apa yang diinginkannya,
Mengetahui betapa si Kabul telah mendapatkan apa yang diimpikannya.

Kembali terngiang sore beberapa tahun lampau,
Perkataan Kabul yang menghujam hatinya,
Bahwa dia akan meninggalkan desa mereka,
Untuk menuju kota metropolitan,
Untuk mencapai apa yang diimpikannya tiap malam,
Menjadi orang kaya di kota,
Seperti yang sering mereka lihat bersama di saluran televisi.

Teringat juga, bagaimana Kabul mengajak dirinya untuk ikut bersama,
Sebagai wujud dari kedekatan mereka dalam apapun,
Namun keberanian itu tidak muncul darinya,
Begitu banyak yang harus dipikirkan olehnya,
Bapaknya yang mulai sakit-sakitan, ibunya sudah tidak bisa berladang,
Karena lumpuh yang telah lama dideritanya.

"Aku menantikanmu Kabul", gumam Ahmad sambil memandang matahari yang akan bersembunyi di ufuk,

Sedang, sore hari di ratusan kilometer jauhnya,
Kabul sedang mengenang kebenaran perkataan sahabatnya sore itu,
Bahwa desanya adalah desa terindah,
Desa tersubur, termakmur,
Apapun yang ditanam, maka jadilah untuk memenuhi kebutuhan kita,
Mengapa harus ke kota untuk mencari sesuatu yang belum kita ketahui.

Kabul menerawang akan kehidupannya sekarang,
Bagaimana bertahan hidup di tengah kota metropolitan,
Berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang tidak tetap,
Tidak tetap penghasilannya dan tidak tetap keberadaannya,
Untuk menopang kehidupannya yang tidak seperti diimpikannya,
Ah andaikan saat itu aku tidak jadi ke kota ini.

Namun, sebentar lagi lebaran akan datang,
Aku akan pulang untuk temui orang tuaku,
Aku akan mudik untuk jumpai Ahmad dengan cerita keberhasilanku ini.

Kabulpun melangkahkan kakinya kembali,
Menyusuri jalanan yang ramai lalu lalang mobil,
Untuk mencari uang sebagai bukti adanya hidup di kota,
Sebagai wujud dari impiannya yang nyata,
Kabulpun mencoba tersenyum di tengah kegetiran hidupnya.

Thursday, August 7, 2008

Pengemis Tua

Umurku lebih dari setengah abad,
Berbalut kulit kering, hitam terbakar matahari,
Bertulang besar, namun tak berdaging subur,
Berselimut baju kucel, berhiaskan noda tak terhapuskan,
Bersandal jepit, pelindung dari panasnya bumi.

Bila kewajiban sholat Shubuh telah usai kujalani,
Kaki melangkah menyusuri jalanan sepi,
Ditemani gelapnya jalan di sekitar gubukku,
Meloncati batu yang berserakan, menghindari kubangan air yang menghadang,
Menuju jalanan setapak kampung yang diterangi cahaya lampu secukupnya,
Sampai di perempatan jalanan besar sebagai labuhan terakhir,
Tempat harapan kepada semua yang lewat menysihkan uang recehnya.

Matahari sudah menunjukkan keperkasaannya,
Memberikan panas yang dibutuhkan oleh sebagian orang saat itu,
Sejenak aku merapat di keteduhan yang ada,
Sekedar melepas rasa lelah yang mendera,
Menunggu berkurangnya keringat yang mengucur.

Kembali kupandang sekeliling tempat kerjaku ini,
Teman-teman sejawat sudah mulai berdatangan,
Mereka jauh lebih muda dariku,
Membawa serta keluarganya, anak masih kecil yang kutahu bukan anaknya
Sebagai penguat rasa penderitaan mereka,
Mengharapkan belas kasihan lebih dari yang lewat.

Aku termenung,
Terkenang kembali aku di kala umur masih muda,
Badan kekar, tegap dengan semangat hidup yang meluap,
Bekerja membanting tulang untuk hidupi anak istriku,
Seharin bekerja dengan keras dan malam hari berkumpul dengan keluarga,
Aku sangat mensyukuri nikmat yang ada, walaupun hanya cukup untuk sehari.

Aku pantang menerima pemberian orang lain, tanpa usaha dariku,
Aku enggan menjadi seorang peminta, karena aku masih bisa mencari,
Aku malu jadi pengemis, karena aku masih bisa berkarya.

Namun, sekarang,
Begitu mudahnya laki-laki seusiaku dulu,
Yang menghabiskan waktunya di jalanan,
Meminta dan mengharap uang sisa dari orang lain.

Begitu gampangnya dia memutus usaha kerasnya,
Enggan mencari sampai batas kemampuan yang ada,
Untuk mendapatkan upah karena olah tangan dan badannya,
Bukan menengadah tangan sepanjang hari mengharap juluran receh.

Apa yang salah dengan mereka,
Kenapa semangatku dulu tidak terpancar di kehidupan mereka.

Aku termenung mencari sebab yang mengambang,
Aku terpekur melihat jalan hidup yang dijalani sekarang,
Dan aku tersentak,
Setitik terang lewat di depan wajahku.

Aku tidak bisa menyamakan mereka dengan aku dulu,
Aku tidak bisa serta merta menyalahkan mereka dengan tiadanya asa yang meluap,
Aku tidak mau membuat mereka sebagai pecundang,
Karena aku adalah aku, mereka adalah mereka.

Aku tidak tahu alasan mereka terjun dalam dunia jalanan ini,
Bisa karena mereka tidak ounya kemampuan yang cukup untuk bekerja,
Atau karena sudah begitu sempitnya pekerjaan yang ada,
Atau karena sudah begitu banyaknya orang yang hidup di negara ini,
Atau karena bangsa ini yang sudah begitu miskinnya, untuk sediakan lapangan kerja.

Atau karena seperti yang aku jalani,
Berusaha membantu kepada tuan-tuan yang lewat untuk bersedekah,
Menolong menyisihkan sebagian kecil kekayaannya untuk kaum papa,
Namun, apakah tuan-tuan dan nyonya-nyonya itu tulus dan ikhlas dalam pemberiannya?
Hanya Tuhanlah yang tahu akan ketulusan seseorang.

Hari semakin siang ketika aku tersadar dari lamunanku,
Jalanan macet, keruwetan terjadi walaupun dua orang polisi berusaha mengaturnya,
Teman-temanku sudah menyebar, menyisir mobil yang ada.

Akupun segera beranjak mendekati,
Mencoba mengetuk hati yang ada di dalam mobil,
Untuk koin receh pengganjal perutku di hari ini.

Save The Earth

Along my ride from the airport,
A lot construction step is in progress,
Heavy equipment works hard,
To pile the earth,
Making foundation of future huge building.

Asking to the driver, what will be those buildings?
Mall sir, he answers with smile,
What kind of mall?
Accross this area, there is a big mall,
Two block of the,, a sensational mall is located,
Is there any different the future mall comparing with others?

No sir, the driver answers again,
Absolutely no different,
I do not understand the policy of my govermnent,
I am just ordinary people,
That trying to work hard as driver,
No attention from this philosophy of mall erection.

But by this mall competition,
It helps me to have opportunity to get more money,
Deliver people from one mall to other,
Accompany them to fulfill their need, just to take window shopping,
Even the taxi cab right now is almost flooded,
But there is still a chance for me to get little money from them.

I like mall, I like so much a lot of mall,
Not because I have enough money,
But I can get money from them,
I just pray that their habit to spend the money,
To be kept well for time being.

That is the driver's hope,
Smiling is mya answer to hear that,
It seems true, more mall more money involving on them,
I just think about my land,
Where is my forest?
Where is my beatiful natural park?
Where is my bird?
Where is my oxygen maker, the most important thing we need in this life?

Will my grand child just see the huge builging in their life?
So, I promise to myself,
Let start to save the earth.

Pramugari dan Emergency Door

Dengan senyum terkembang, aku mendatangi kursi di emergency door,
Aku berharap,yang duduk di situ adalah bapak-bapak atau pemuda,
Jangan ibu-ibu atau remaja putri,
Bukan aku menyangsikan kaumku sendiri,
Tapi ini tempat duduk emergency door,
Aku lebih memilih para lelaki,
Karena (kuharap) punya kekuatan dan ketenangan yang lebih.

Harapanku terkabul,
Dua belas kursi diduduki oleh kaum Adam,
Ada perasaan tenang dalam hatiku, walaupun aku sangat berharap bahwa pintu darurat ini tidak perlu dibuka,
Seperti semua yang ada dalam pesawat ini,
Harapannya selamat sampai di tempat tujuan.

Terbayang,
Betapa besar beban pekerja di darat,
Menjaga dan merawat burung besi ini hingga laik terbang,
Betapa berat beban mas-mas pilot yang duduk di kemudi,
Meyakinkan dan menerbangkan benda berat ini hingga ke tujuan,
Melewati rintangan di ketinggian,
Nyawa ratusan oranglah yang menjadi tanggungan.

Deretan kursi no 10, diisi 4 bapak dan 2 pemuda,
Pemuda berbadan sehat, namun sudah siap posisi untuk tidur,
Sedang bapak yang lain sibuk membaca koran atau buku,
Aku mencoba untuk meminta perhatian mereka,
Satu bapak mengalihkan bacaannya dan memandangku,
Bapak lain tetp tidak bergeming, pemuda yang ada melonjorkan kakinya untuk tidur.

Ah,, kenapa hanya satu yang mau mendengarkan,
Apakah yang lain tidak tahu betapa pentingnya penumpang di kursi emergency,
Apakah mereka itu sangat yakin bahwa pintu itu tidak diperlukan,
Apakah mereka tidak sadar kalau penumpang lain mengharapkan kecepatan dan ketepatan mereka bila terjadi sesuatu,
Apakah mereka sudah terlalu sering terbang, sudah tahu dan hapal prosedur dan cara membuka pintu itu,
Ataukah jangan-jangan karena aku sudah bukan gadis belia lagi, tidak terlalu cantik, hanya senyum rmah yang aku punyai?

Ah .., kenapa aku menjadi terbebani dengan ini semua,
Aku harus segera tunaikan tugas ini,
Masih banyak tugas lain dalam 1 jam penerbangan ini.

Tetap dengan senyum, aku mundur ke deretan nomer 11,
Semuanya sudah bapak dan ada 2 orang asing,
Aha, aku harus pakai bahasa inggris di sini,
Aku meminta perhatian mereka,
Syukur mereka mengalihkan pandangan ke aku,
Mendengarkan penjelasanku dengan baik,
Anggukan mereka merupakan siraman di hatiku,
Aku cukup berharga di mata mereka,
Kupersilakan mereka membaca petunjuk yang ada,
Ah, dua orang asing itu yang membacanya.

Apakah orang asing itu lebih perhatian terhadap keselamatan penumpang,
Apakah mereka lebih menghargai aku,
Ataukah mereka ingin meyakinkan prosedur standar ini dilakukan dengan benar,
Apakah petunjuk yang tertulis telah benar adanya,
Jangan-jangan mereka melakukan sampling sistim penerbangan kita,
Untuk masukkan bagi negaranya, sudah layakkah dikeluarka dari daftar larangan terbang mereka.

Ah.., kenapa aku kembali terbebani ini,
Aku harus selesaikan tugas ini,
tugas lain sudah menunggu,
Dengan senyum, aku ucapkan terima kasih atas perhatiannya.

Sambil melakukan tugasku sebagai pramugari,
Aku masih tersenyum dengan tulus,
Salah satu kelebihanku adalah senyum ini,
Selalu tersungging di wajahku,
Walaupun beban hidupku sebenarnya tidak menyiratkan manisnya senyum itu.

Friday, August 1, 2008

BALL......GOOOOOL

This night, I become the queen,
The only one that 22 people are hunting me,
From side to other side,
By kicking, heading or catching,
Yes, I am the ball, and I am the queen.

Gol is the player's goal,
More gol to other field, more money and proud to be received,
No gol to other, it seems the losser is coming,
Oh don't keep the gol far away from me,
I like gol, I like gol so much

I am the ball, I am the queen,
but my team become a losser tonight, oh