Friday, August 8, 2008

Ahmad dan Kabul

Si Ahmad dan si Kabul adalah sepasang sahabat,
Sahabat dalam suka dan duka,
Ketika masih satu SMP di desa kaki pegunungan Merapi.

Suatu sore hari,
Si Ahmad sedang berjalan kaki menikmati keindahan desanya,
Berkaos putih dan bercelana jins,
Sambil bersiul mendendangkan lagunya Mulan Jameela terbaru,
Mengiringi keriangan dalam hatinya karena matahari sore yang bersahabat,
Mengantarkan kegembiraan bathinnya karena sebentar lagi akan bertemu sahabatnya,
Ya lebaran sebentar lagi menyapa,
Seperti tahun-tahun sebelumnya,
Si Kabul akan datang dari kota,
Bersama-sama kembali menyelusuri kenangan masa kecil,
Bercakap semua hal yang membuat ketawa lepas,
Berkejaran seperti ingin mengukur luasnya desa mereka.

Si Ahmad tersenyum sendiri membayangkannya,
Bagaimana Kabul akan bercerita tentang kehidupannya di kota,
Tentang keindahan lampu dan bangunan yang selalu ditemuinya,
Tentang suasana kantornya yang sibuknya melebihi hari pasaran di desa,
Tentang bossnya yang begitu baik memberikan perhatian kepadanya,
Tentang teman kerjanya yang ganteng dan cantik,
Dan tentu tentang uang yang didapatnya selama sebulan.

Ahmad begitu bangganya akan sahabatnya itu,
Mengerti betapa sahabatnya telah menggapai apa yang diinginkannya,
Mengetahui betapa si Kabul telah mendapatkan apa yang diimpikannya.

Kembali terngiang sore beberapa tahun lampau,
Perkataan Kabul yang menghujam hatinya,
Bahwa dia akan meninggalkan desa mereka,
Untuk menuju kota metropolitan,
Untuk mencapai apa yang diimpikannya tiap malam,
Menjadi orang kaya di kota,
Seperti yang sering mereka lihat bersama di saluran televisi.

Teringat juga, bagaimana Kabul mengajak dirinya untuk ikut bersama,
Sebagai wujud dari kedekatan mereka dalam apapun,
Namun keberanian itu tidak muncul darinya,
Begitu banyak yang harus dipikirkan olehnya,
Bapaknya yang mulai sakit-sakitan, ibunya sudah tidak bisa berladang,
Karena lumpuh yang telah lama dideritanya.

"Aku menantikanmu Kabul", gumam Ahmad sambil memandang matahari yang akan bersembunyi di ufuk,

Sedang, sore hari di ratusan kilometer jauhnya,
Kabul sedang mengenang kebenaran perkataan sahabatnya sore itu,
Bahwa desanya adalah desa terindah,
Desa tersubur, termakmur,
Apapun yang ditanam, maka jadilah untuk memenuhi kebutuhan kita,
Mengapa harus ke kota untuk mencari sesuatu yang belum kita ketahui.

Kabul menerawang akan kehidupannya sekarang,
Bagaimana bertahan hidup di tengah kota metropolitan,
Berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang tidak tetap,
Tidak tetap penghasilannya dan tidak tetap keberadaannya,
Untuk menopang kehidupannya yang tidak seperti diimpikannya,
Ah andaikan saat itu aku tidak jadi ke kota ini.

Namun, sebentar lagi lebaran akan datang,
Aku akan pulang untuk temui orang tuaku,
Aku akan mudik untuk jumpai Ahmad dengan cerita keberhasilanku ini.

Kabulpun melangkahkan kakinya kembali,
Menyusuri jalanan yang ramai lalu lalang mobil,
Untuk mencari uang sebagai bukti adanya hidup di kota,
Sebagai wujud dari impiannya yang nyata,
Kabulpun mencoba tersenyum di tengah kegetiran hidupnya.

No comments: